TEMPO Interaktif, Yogyakarta - Sejak tahun 1911 Gunung Merapi tercatat sudah 18 kali meletus. Letusan paling banyak memakan korban terjadi pada 14 Desember 1930 dan mengakibatkan 1.359 orang tewas.
Aktivitas Merapi itu menyebabkan terjadinya awan panas dengan jarak luncur 6 kilometer dan berakhir di jarak 11 kilometer dari puncak. Aktivitas Merapi berlanjut pada esok harinya yang mengeluarkan awan panas dengan jarak luncur sejauh 12 kilometer dan menghancurkan area seluas 20 kilometer persegi.
“Letusan itu meleburkan 13 desa dan 23 lainnya rusak berat. Letusan itu mengakibatkan 1.359 orang tewas dan 2.100 binatang ternak seperti sapi dan kambing juga menjadi korban,” kata IGM Agung Nandaka, Kepala Seksi Metode dan Teknologi Mitigasi Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPTTK) Yogyakarta, Senin (25/10).
Letusan itu didahului oleh hujan lebat pada 8-9 Desember 1930 dan hujan selama hampir 3 jam pada 16 Desember. Fase efusif ditandai dengan leleran lava mulai Januari 1931 dengan laju pertumbuhan yang bervariasi. Leleran lava ini kadang jatuh menimbulkan awan panas kecil. Aktivitas berakhir September 1931, tetapi hujan lebat menyebabkan terjadinya lahar yang masih membawa material panas.
Pada 22 November 1994 pagi hari kubah lava dengan volume 2,6 juta meter kubik runtuh menyebabkan rangkaian awan panas sejauh 6,5 kilometer ke arah barat laut dan selatan. Sebanyak 64 orang tewas dan puluhan lainnya mengalami luka bakar serius di Dusun Turgo, Purwobinangun, Pakem, Sleman. Endapan lava dijumpai di arah Kali Boyong.
Pada 1997 bulan Januari terjadi awan panas yang cukup jauh hingga 6 kilometer yang merupakan gabungan tipe awan panas guguran dan letusan kecil.
Pada 2001, erupsi mencapai puncaknya pada 19 Februari dengan ditandai awan panas guguran. Aktivitas vulkanik pada 2001 dimulai dengan peningkatan aktivitas seismik sejak awal 2000 hingga Desember.
Kubah baru terbentuk pada 23 Januari 2001 di atas kubah lava 1956 yang telah hancur sebelumnya dengan volume 500 ribu meter kubik. Pada 25 Januari 2001 awan panas berlangsung secara terus menerus selama satu jam dengan jarak luncur 4,5 kilometer ke arah Kali Sat mengakibatkan hujan abu tipis di lereng Merapi. Pada 27 Januari 2001 awan awan panas berlansung terus menerus selama 2 jam dengan jarak luncur 4,5 kilometer dengan radius 10-15 kilometer.
Ia menambahkan, pada 2006, erupsi besar terjadi pada 14 Juni dan menewaskan dua orang relawan Tim SAR yang bersembunyi di bunker Kaliadem. Awan panas meluncur ke arah Kali Gendol.
Gempa bumi 27 Mei 2006 5,9 skala Richter menyebabkan peningkatan aktivitas vulkanik Merapi. Hal itu ditandai dengan naiknya jumlah awan panas ke alur Kali Gendol. Padahal, jika ada gempa bumi biasanya awan panas menuju ke arah Kali Krasak.
Gempuran awan panas ke alur Kali Gendol menyebabkan sebagian dari Geger Boyo runtuh (15 Juni) dengan volume reruntuhan 400 ribu meter kubik. Karena Geger Boyo runtuh maka alur ke Kali Gendol semakin terbuka. Suara gemuruh dari guguran material Geger Boyo dan awan panas yang mengalir ke Kali Gendol sejauh 4 kilometer menyebabkan penduduk Kali Adem panik dan mengungsi.
Puncaknya, luncuran awan panas ke arah Kali Gendol 14 Juni 2006 dengan jarak luncur 7 kilometer menghancurkan objek wisata Kaliadem.
Setelah empat tahun sejak 2006 Merapi tidak menunjukkan aktivitas tinggi, BPPT menyatakan Status Awas (red alert) pada gunung yang tergolong paling aktif di dunia itu pada Senin (25/10) pukul 06.00 WIB.
“Penaikan status ini karena aktivitas Merapi sangat tinggi di bandingkan dengan 2006, padahal status Siaga baru tiga hari. Ini tugas kami supaya pemerintah daerah yang sebagian wilayahnya masuk dalam kawasan rawan bencana segera mengungsikan warganya untuk meminimalisir korban,” kata Surono Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.