Berita ini saya sadur dari situs jakartapress.com dan hanya ingin membagikan ini kepada pembaca yang masih memiliki kepedulian atas nasib bangsa kita.
DI saat ramainya berita Golkar isyaratkan petieskan kasus Century, seorang mantan anggota Pansus Angket Century DPR menelepon jakartapress.com. Ia mengaku sejak awal sudah meduga bahwa kepentingan Golkar berteriak lantang di Pansus, sejatinya sasaran utama Golkar adalah ‘mendepak’ Menteri Keuangan Sri Mulyani. Lantas, Pansus pun bisa diadikan alat "perang" ketua umum Golkar Aburizal Bakrie (Ical) melawan Sri Mulyani.
Bahkan, kalangan pengamat sudah memprediksi sejak Pansus pertama bersidang, bahwa setelah Sri Mulyani dicopot dari jabatan Menteri Keuangan, maka sasaran Pansus sudah selesai dan kader Golkar di Pansus dilarang vokal lagi. Sri Mulyani dianggap memulai pertempuran setelah menyampaikan pandangannya bahwa Golkar tidak akan bersikap fair kepadanya. Tudingan Sri Mulyani dijawab Golkar dengan pembeberan rekaman pembicaraan Menteri Keuangan tersebut dengan Robert Tantular, meski akhirnya dibantah langsung oleh Sekretaris KSSK Raden Pardede.
Mundurnya Sri Mulyani bisa jadi karena adanya kompromi politik yang harus mengorbankan Sri Mulyani sebagai tumbal. Bisa jadi juga Sri Mulyani berkorban untuk atasannya. Tapi jika hal ini yang terjadi, maka Sri Mulyani bukan hanya bodoh tetapi dia juga tidak berpihak pada kebenaran karena tidak berani melawan kezaliman atas dirinya. Sri Mulyani bisa jadi merasa muak pula terhadap perilaku partai politik yang sebenarnya sadar bahwa Menkeu/Ketua KSSK ini hanya menjalankan perintah atasannya, namun belagak tidak tahu dan hanya menyasar dirinya.
Partai politik (parpol) tidak ada satu pun yang berani menyasar Presiden SBY sebagai penanggungjawab atas skandal Century. Parpol pun meniadakan fakta-fakta hukum dengan alasan politik yang sungguh tidak masuk akal bahwa semuanya sekali lagi seharusnya ada Presiden atau Wapres saat itu yang harus bertanggungjawab. Sayangnya, media massa juga terlena dengan permainan parpol utamanya Golkar yang memang hanya menyasar Sri Mulyani atas dasar pribadi ketua umum Golkar yang diduga tidak menyukai Sri Mulyani. Media cetak misalnya tidak pernah menulis dan memperhatikan apakah bosnya Golkar (Aburizal Bakrie) telah membayar tunggakan pajak perusahaannya atau tidak. Sehingga, wajar apabila kini ada penilaian bahwa mundurnya Sri Mulyani identik dengan kemenangan Golkar.
Apa sebenarnya asal mula yang menjadi pemicu konflik antara Ical dengan Sri Mulyani? Diambil dari Referensi ‘Summary Audit Investigatif BPK atas Lumpur Lapindo’ dan ‘Audit Investigasi BPK atas Lumpur Lapindo’ maka bisa dijelaskan sebagai berikut. Bermula dari Kasus Luapan Lumpur Lapindo sejak 28 Mei 2006, telah terjadi perdebatan sengit siapa pihak yang bertanggungjawab atas biaya penanggulangannya : PT Lapindo (Bakrie Family), negara atau dua pihak. Berdasarkan sumber-sumber yang saya himpun (Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo), sebagian besar ahli drilling dan geologi menyatakan bahwa luapan lumpur Lapindo disebabkan oleh tindakan eksplorasi yang dilakukan oleh PT Lapindo Brantas yang sebagian besar sahamnya dimiliki oleh keluarga Bakrie. Fakta ini pun didukung oleh hasil Audit Investigatif BPK atas Lumpur Lapindo yang mengindikasi terjadi pelanggaran prosedur dan peraturan mulai dari proses tender, peralatan teknis hingga prosedur teknis pengeboran sumur-sumur minyak di Sidoarjo.
Fakta yang lebih meyakinkan adalah dokumen serta pernyataan Arifin Panigoro sebagai pemilik perusahaan operator pengeboran sumur PT Lumpur Lapindo yang mengaku PT Lapindo telah melakukan pelanggaran atas SOP serta tidak mau melaksanakan tindaka preventif. Karena penyebab utama terjadi sumburan lumpur di Sidoardjo adalah aktivitas pengeboran, maka pihak yang bertanggungjawab adalah PT Lapindo Brantas sebagaimana diatur dalam UU 23/1997 dan PP 27/1999.
Meskipun sudah cukup jelas penyebab dan siapa penanggungjawabnya, namun alih-alih Presiden SBY mengeluarkan Per.Pres 14 tahun 2007 jo Per.Pres 48/2008, yang mana pemerintah (dengan anggaran rakyat) membantu biaya lumpur Lapindo yang disebabkan oleh kesalahan manusia mengundang bencana. Terbitnya peraturan presiden tersebut sangat merugikan uang negara. Dalam kurun 3 tahun, 795 miliar APBN dikucurkan untuk membantu kelalaian pengeboran Lapindo selama 2007-2009. Rinciannya sebagai berikut : Rp 114 miliar pada 2007, Rp 513 miliar pada 2008, dan 168 miliar pada 2009. [LKPP 2007, LKPP 2008 dan UU APBN P 2009]. Baca juga : Jusuf Kalla dan 3 Tahun Lumpur Lapindo. Dalam kasus lumpur Lapindo, saya sepakat dengan Bu Sri Mulyani yang menginginkan “Perusahaan Bakrielah (Lapindo) yang bertanggung atas biaya penanggulangan lumpur Lapindo, bukan negara”.
Kesalahan kedua Bakrie dimata Sri Mulyani adalah karena adanya usaha pemerintah SBY-JK dalam mengintervensi penjualan saham PT Bumi Resource Tbk yang notabene adalah milik keluarga Bakrie. Pada Oktober 2008 silam, bersamaan krisis finansial dunia, saham-saham perusahaan nasional di BEI jatuh bebas tidak terkendali. Saham BUMI yang 3 bulan sebelumnya mencapai Rp 7000 per saham, anjlok dibawah Rp 1000 per saham. Tapi, pihak otoritas saham tiba-tiba menghentikan sementara (suspensi) perdagangan saham bumi yang diduga adanya tekanan Bakrie melalui pemerintah SBY-JK. Sri Mulyani yang ikut membidani masalah keuangan berang. Sri meminta pencabutan penghentian sementara perdagangan saham PT Bumi Resources Tbk pada 7 Oktober 2008. Atas kasus ini, beredar kabar bahwa Menkeu Sri Mulyani sempat ‘mengancam’ mengundurkan diri jika saham Bakrie masih disuspensi.
Kesalahan ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah kasus royalti batubara yang ditunggak oleh perusahaan Bakrie (berbeda-beda menurut versi Menkeu, BPK dan ICW).Kesalahan ketiga Bakrie dimata Sri Mulyani adalah pembakngangan royalti batubara yang dilakukan perusahaan batubara, yang sebagian diantaranya adalah perusahaan milik Bakrie. Sri Mulyani tidak habis berpikir, mengapa ada perusahaan yang berani menghindari pajak/royalti dan bahkan menunggak bertahun-tahun. Sedikitnya 2-5 triliun Tidak hanya sampai disitu, SM juga membuat keputusan pencekalan terhadap sejumlah petinggi perusahaan batu bara Bakrie.
Kesalahan keempat Bakrie dimata Sri Mulyani adalah rencana Bakrie menguasai saham 14% PT Newmont Nusa Tenggara. Mengingat potensi yang besar dari Newmont, Sri Mulyani menolak keinginan Bakrie membeli 14 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara. Saat menjabat pelaksana tugas Menko Perekonomian, Sri Mulyani meminta agar seluruh saham divestasi Newmont dibeli oleh perusahaan negara. Meski begitu, ketika jabatan Menteri Koordinator Perekonomian berpindah ke Hatta Rajasa, melalui Multicapital akhirnya Bakrie bisa mendapatkan 75 persen dari 14 persen saham Newmont. Keinginan Bakrie terwujud walau tak sampai 100 persen. Tentu saja, tunggakan pajak di atas sudah ada yang diselesaikan oleh Ical. Paparan tersebut di atas hanya sekedar memutar kembali tentang faktor apa sebenarnya yang menjadi pemicu awal konflik antara Ical dan Sri Mulyani. (*)